Tarawih dan Sendal Nenek (Real Story)
0
Sewaktu di Sekolah, di Madrasah Aliyah tepatnya, bukan Saya orangnya kalau pas adzan isya’ di saat Ramadhan selalu mencari celah untuk kabur dari yang namanya tarawih meskipun sebulan penuh aku tidak pernah meninggalkan puasa. Padahal orang tua, keduanya merupakan jebolan pesantren ternama di daerah Jatim. Pun tak tanggung-tanggung kalau sudah bicara Ramadhan. Puasa dan tarawih adalah dua aktivitas yang sudah harga mati buat mereka. Namun kembali ke saya, bukan saya juga kalau usaha ‘meloloskan diri’ dari tarawih bernilai nihil.
Tak ada yang kuingat-ingat tentang nenek itu lagi sebelum akhirnya aku baca hadits rasul dari Abu Hurairah yang berbunyi:
Suatu saat sebelum isya’, kulihat kedua orangtuaku sudah lengkap dengan peralatan tarawihnya. Alasan yang sangat sering kugunakan adalah ‘menjalankan’ mereka lebih dulu ke masjid. Sebelum akhirnya aku mempersiapkan sarung dan sajadahku dan membiarkannya di kursi ruang tamu untuk ‘memberi pesan’ kepada orang tuaku bahwa aku sudah dari masjid. Konyol memang. Tapi cuma dengan cara itu orang tuaku bungkam. Dari pada harus alasan ada janji lah, imamnya kelamaan lah, sakit perut lah, ngantuk berat lah, rakaatnya beda lah, dan lain-lain lah.
Lalu kemanakah saya? Mayoritas pemuda nakal pada umumnya, ngajakin teman untuk soal bolos-membolos adalah hal utama yang sering kupakai. Nggak perlu lima, satu temanpun kalau dia mau kenapa tidak. Salah satu ruangan di dalam tempatku sekolah kujadikan tempat persembunyianku karena ruangan itu memang ‘kupegang’. Sebenarnya pun tak ada aktivitas yang berarti di dalam sana kecuali hanya ngobrol ngalor-ngidul, genjrang-genjreng, dan ngumpet sengumpet-ngumpetnya kalau ada parker sekolah yang lagi shift malam. Masing-masing handphone keluaran 2005 juga tidak bisa berbuat banyak karena sudah di setting ‘lagi tarawih dan tadarus’.
Dari pada tarawih, dari pada tadarus, dari pada dari pada, ‘membangkang’ sepertinya lebih asyik kupikir saat itu. Indahnya muslim yang menyelendangkan sajadah ketika ke masjid, anggunnya muslimah yang sudah lengkap dengan mukenanya, rapinya shaf-shaf ketika sujud sudah lenyap rasanya dari kerinduan. Ngaji berjam-jam yang sempat jadi hobipun juga sudah lenyap melengkapi warna putih abu-abu di seragamku. Tidak hanya sebulan dalam setahun, setiap ramadhan di tahun-tahun berikutnya juga bercerita hal yang sama tentang kebiasaanku.
Hingga akhirnya berada pada titik kejenuhan, akupun berusaha bangkit dari sesatnya masa kepemudaanku soal tarawih. Tidak mungkin aku terus berkilah dari orang tua yang sudah memperhatikanku selayaknya orang tua pada umumnya. Tidak mungkin pula aku pasti mendapatkan teman yang bisa menemaniku bolos tarawih. Berangkatlah suatu ketika aku ke masjid. Tidak ada yang berbeda. Sholat hanyalah sekedar sholat untuk melengkapi rakaat demi rakaatnya. Cuma itu. Rupanya Tuhan sudah membuangku ke kejauhan. Rupanya Tuhan sudah tahu kebiasaan burukku yang mungkin bisa terulang. Tak putus asa, kucoba lagi menemukan ‘tarawihku’ yang ketika kecil selalu kudambakan kehadirannya. Lagi-lagi kuulang, lagi-lagi aku gagal. Terpuruk rasanya tidak diperdulikan Tuhan. Percuma rasanya puasa tanpa tarawih. Tak lengkap rasanya Ramadhan tanpa tarawih. Bagaimana tidak, soal puasa mungkin hanya Tuhan yang tahu. Tapi tarawih bisa membuktikan bahwa jama’ahnya sama-sama bergembira menghadapi puasanya. Dan aku gagal menunjukkan puasaku terhadap mereka.
Kulihat seorang wanita berusia lanjut turun dari masjid memapahkan kaki mencari alas kakinya yang mungkin sudah tak lagi terlihat. Rupanya dia butuh bantuan. Bergegaslah aku menemuinya dan mencoba mencari alas kaki yang dia pakai. Sandal dengan coretan angka 985 ditunjuknya. (kebiasaan di tempatku mencorat-coret –menandai sandal yang biasa dibawa ke masjid biar tidak tertukar). Akupun memasangkan alas kakinya. Dia tersenyum. Terima kasih dia bilang. Diapun pulang dan akupun pulang. Selintas pikirku dalam hati, rajin amat itu orang. Sholat sunnah tarawih aja masih sanggup ke masjid meski mata sudah mulai rabun. Tapi woles laah… mungkin karena kebiasaannya. Seperti halnya aku yang terbiasa tidak pernah tarawih yang rajin pergi ke tempat jauh hanya karena menghindari tuntutan tarawih
“aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mendirikan shalat malam dalam bulan Ramadhan (tarawih salah satunya, pen) karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau”. (H.R Bukhori)Jujur sebenarnya jika aku yang membaca hadits tersebut, rupanya tidak ada yang membuat merinding sekalipun haditsnya mencakup soal pahala dan dosa. Sama seperti kebanyakan pemuda ‘nakal’ yang lain. Tapi yang membuat aku merinding, bertaubat, dan kembali mencintai tarawih, ketika kuingat nomor dari hadits riwayat Shahih Bukhari yang aku baca di atas sama persis dengan coretan alas kaki yang ditunjukkan nenek saat dia selesai dengan tarawihnya kala itu. Lihat Ringkasan Hadits Bukhori 985. Maha Suci Allah… Tak habis habisnya dipikir. Terasa seperti carita karangan yang telah terbingkai. Terasa seperti cerita konyol jika aku mendengarnya dari orang lain. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, tarawihku kali ini sudah berbeda dari tarawih di masa aliyahku. *end