Atlantis dan Isra Mi’raj, Antara Plato dan Muhammad SAW
0
Dua hal masih dipertentangkan dalam perdebatan oleh kalangan ilmuan dan pakar ilmu pengetahuan dalam beberapa abad terakhir yang secara garis besar mengimplementasikan kejayaan berpikir 'produk Tuhan' (manusia) tentang memahami kecintaan terhadap Tuhan dan kecintaan terhadap sesama makhluk-makhluk Tuhan.
Apa yang dilihat oleh Plato sebagai Atlantis dalam gagasannya sebenarnya suatu makrifat, perjalanan ke masa lalu yang terproyeksikan ke masa depan sebagai titik awal dan akhir pengetahuan manusia yang justru berada dalam pengaruh kondisi psikologis manusia. Artinya, ketika Plato menyadari realitas Indra Maya seperti halnya Rasulullah SAW mengalami Isra Mi’raj, maka gambaran yang terlintas adalah gambaran masa depan dari titik tolak asal mula pengetahuan yang tercitrakan di Indra Maya manusia yaitu bilangan 6 sebagai simbol kesadaran atas Waktu. Kalau Plato memproyeksikan semua pandangannya menjadi suatu negara dengan peradaban yang maju, dengan hasil akhir risalahnya berjudul Republic; maka, Rasulullah melihat lebih jauh lagi ke wilayah Ghaib dengan melihat hari akhir manusia dalam suatu tempat yang disebut Surga dan Neraka sebagai hasil dari semua perbuatannya di dunia. Muhammad melihat surga dan neraka di setiap tatanan sebagai suatu konsekuensi logis dari perbuatan manusia di dunia. Jadi, secara sejajar pengertian Plato dipengaruhi oleh keterbatasan pengertiannya dengan bilangan akar 2 sehingga ia tidak mencapai posisi tertinggi, namun Muhammad menembus batas psikologis dan memahami realitas ilmu pengetahuan yang diekstrak oleh manusia dari Qalam Tuhan sebagai Pesan-pesan fenomenal ternyata bersandar pada AKSIOMA MUTLAK BENAR dari bilangan 1 yang muncul Keghaiban Mutlak Esensi Tuhan karena keterbatasan inderawi, akal pikiran dan hati manusia untuk memaknainya. Dengan kata lain kalau kita gunakan rumusan matematis masa kini bilangan -1 berasal dari akar -1 kali akar -1 dengan nilai mutlak |-1|=1, sedangkan artikulatornya adalah :
Sebagai persamaan imajinal yang hanya mungkin diperoleh solusinya dengan cara menurunkan, atau mendiferensiasikan Pesan-pesan Tuhan menjadi tatanan-tatanan Pengetahuan dengan hirarki yang dapat dipahami oleh akal pikiran manusia sebagai hirarki papan catur 8x8=64 yang identik dengan 13x5=65 dan hal ini terbukti secara aktual bahwa tatanan sistem kehidupan di sistem tatasurya adalah 13 benda langit, sedangkan tatanan Global adalah 17 sebagai 7 langit bumi dengan trigger maghfirah 5 yang menjadi ketentuan shalat wajib 5 waktu sehari semalam, maka al-Bayyinah terbukti bahwa eksistensi kehidupan makhluk adalah Realitas The Matrix. Semuanya adalah metafora tentang wewangian Tuhan. Artikulator dari hasil penurunan persamaan Muhammad diatas (ini penamaan dari saya, di masa kini saya membaca buku Richard Feyman ilmuwan Fisika Nuklir Caltech yang menuliskan persamaan diatas dan beliau katakan sebagai persamaan yang tak ada solusinya).
Produk akhir dari perjalanan Rasulullah adalah suatu hadiah bagi Umat Manusia sebagai Rahmat bagi semua manusia yang masih menggunakan sistem ilmu pengetahuan simbolik, geometrik, bilangan dan huruf sebagai Shibghatallaahi, sebagai Wahyu-wahyu elementer yang diartikulasikan dari Ruh ‘Amriina yang menyaksikan ke-Esa-an Tuhan yang tidak lain adalah Nur Muhammad yang sekarang berkembang menjadi hampir menjadi 5000 bahasa di dunia sebagai al-Qur’an yang menjadi Wacana Fundamental Semua Manusia dengan landasan Pengetahuan Tauhid.
Ketika Tuhan berbicara melalui mediatornya kepada Muhammad SAW maka menjadi jelas bahwa lidah Muhammad SAW lah yang digunakan-Nya sebagai suatu sarana untuk mengungkapkan kebenaran tentang Allah, Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya esensi yang memerintah dan memberikan wewenang atau al-Haqq. Dan dengan demikian Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril adalah Firman-firman Tuhan yang harus diyakini dan diimani secara utuh, bukan sepenggal-sepenggal, artinya harus dinyatakan sebagai akhlak dan perilaku manusia karena Al Qur’an tidak lain adalah Dzikrul Lil ‘Aalamin, sebagai Sistem Operasi Intelijensi Manusia yang sebenarnya telah ter-install dalam diri manusia ketika ruhnya menyaksikan ke-Esaan Tuhannya. Kesucian Al Qur’an tidak akan tampil selama al-Qur’an hanya menjadi sekedar pajangan dan komoditas yang diperjualbelikan dengan sampul-sampul yang indah lantas menjadi pajangan lemari buku, karena kesucian dan kemuliaan Al Qur’an sebagai Kitab Suci, mestinya harus ditampilkan menjadi akhlak dan perilaku manusia, yang menjadi bayangan kemuliaan dan kesucian Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Siapapun yang menolak realitas kemuliaan jiwa manusia atau diri sendiri dengan memperlihatkan akhlak dan perilaku yang tercela maka ia akan bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan akan terjerumus kedalam lembah kehinaan manusia sebagai Asfalaa Safiliin (QS 95:5). Maka, ia yang menghinakan diri sendiri adalah makhluk yang terputus dari rahmat Tuhan dan menjadi ateis dari kacamata keakuannya sendiri, dari kacamata Tuhan maka manusia adalah makhluk yang harus menerima suatu konsekeunsi dari keterputusan dirinya dari Rahmat Tuhannya yang telah menganugerahkannya indra maya, akal pikiran dan hati untuk mengenali ke-Esa-an Tuhan seperti diungkapkan dalam QS 55 sebanyak 31 kali, “maka rahmat mana lagi yang mau didustakan?”.
Apa yang dilihat oleh Plato sebagai Atlantis dalam gagasannya sebenarnya suatu makrifat, perjalanan ke masa lalu yang terproyeksikan ke masa depan sebagai titik awal dan akhir pengetahuan manusia yang justru berada dalam pengaruh kondisi psikologis manusia. Artinya, ketika Plato menyadari realitas Indra Maya seperti halnya Rasulullah SAW mengalami Isra Mi’raj, maka gambaran yang terlintas adalah gambaran masa depan dari titik tolak asal mula pengetahuan yang tercitrakan di Indra Maya manusia yaitu bilangan 6 sebagai simbol kesadaran atas Waktu. Kalau Plato memproyeksikan semua pandangannya menjadi suatu negara dengan peradaban yang maju, dengan hasil akhir risalahnya berjudul Republic; maka, Rasulullah melihat lebih jauh lagi ke wilayah Ghaib dengan melihat hari akhir manusia dalam suatu tempat yang disebut Surga dan Neraka sebagai hasil dari semua perbuatannya di dunia. Muhammad melihat surga dan neraka di setiap tatanan sebagai suatu konsekuensi logis dari perbuatan manusia di dunia. Jadi, secara sejajar pengertian Plato dipengaruhi oleh keterbatasan pengertiannya dengan bilangan akar 2 sehingga ia tidak mencapai posisi tertinggi, namun Muhammad menembus batas psikologis dan memahami realitas ilmu pengetahuan yang diekstrak oleh manusia dari Qalam Tuhan sebagai Pesan-pesan fenomenal ternyata bersandar pada AKSIOMA MUTLAK BENAR dari bilangan 1 yang muncul Keghaiban Mutlak Esensi Tuhan karena keterbatasan inderawi, akal pikiran dan hati manusia untuk memaknainya. Dengan kata lain kalau kita gunakan rumusan matematis masa kini bilangan -1 berasal dari akar -1 kali akar -1 dengan nilai mutlak |-1|=1, sedangkan artikulatornya adalah :
-1-1=-2=X6+3X2
Sebagai persamaan imajinal yang hanya mungkin diperoleh solusinya dengan cara menurunkan, atau mendiferensiasikan Pesan-pesan Tuhan menjadi tatanan-tatanan Pengetahuan dengan hirarki yang dapat dipahami oleh akal pikiran manusia sebagai hirarki papan catur 8x8=64 yang identik dengan 13x5=65 dan hal ini terbukti secara aktual bahwa tatanan sistem kehidupan di sistem tatasurya adalah 13 benda langit, sedangkan tatanan Global adalah 17 sebagai 7 langit bumi dengan trigger maghfirah 5 yang menjadi ketentuan shalat wajib 5 waktu sehari semalam, maka al-Bayyinah terbukti bahwa eksistensi kehidupan makhluk adalah Realitas The Matrix. Semuanya adalah metafora tentang wewangian Tuhan. Artikulator dari hasil penurunan persamaan Muhammad diatas (ini penamaan dari saya, di masa kini saya membaca buku Richard Feyman ilmuwan Fisika Nuklir Caltech yang menuliskan persamaan diatas dan beliau katakan sebagai persamaan yang tak ada solusinya).
Produk akhir dari perjalanan Rasulullah adalah suatu hadiah bagi Umat Manusia sebagai Rahmat bagi semua manusia yang masih menggunakan sistem ilmu pengetahuan simbolik, geometrik, bilangan dan huruf sebagai Shibghatallaahi, sebagai Wahyu-wahyu elementer yang diartikulasikan dari Ruh ‘Amriina yang menyaksikan ke-Esa-an Tuhan yang tidak lain adalah Nur Muhammad yang sekarang berkembang menjadi hampir menjadi 5000 bahasa di dunia sebagai al-Qur’an yang menjadi Wacana Fundamental Semua Manusia dengan landasan Pengetahuan Tauhid.
Ketika Tuhan berbicara melalui mediatornya kepada Muhammad SAW maka menjadi jelas bahwa lidah Muhammad SAW lah yang digunakan-Nya sebagai suatu sarana untuk mengungkapkan kebenaran tentang Allah, Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya esensi yang memerintah dan memberikan wewenang atau al-Haqq. Dan dengan demikian Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril adalah Firman-firman Tuhan yang harus diyakini dan diimani secara utuh, bukan sepenggal-sepenggal, artinya harus dinyatakan sebagai akhlak dan perilaku manusia karena Al Qur’an tidak lain adalah Dzikrul Lil ‘Aalamin, sebagai Sistem Operasi Intelijensi Manusia yang sebenarnya telah ter-install dalam diri manusia ketika ruhnya menyaksikan ke-Esaan Tuhannya. Kesucian Al Qur’an tidak akan tampil selama al-Qur’an hanya menjadi sekedar pajangan dan komoditas yang diperjualbelikan dengan sampul-sampul yang indah lantas menjadi pajangan lemari buku, karena kesucian dan kemuliaan Al Qur’an sebagai Kitab Suci, mestinya harus ditampilkan menjadi akhlak dan perilaku manusia, yang menjadi bayangan kemuliaan dan kesucian Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Siapapun yang menolak realitas kemuliaan jiwa manusia atau diri sendiri dengan memperlihatkan akhlak dan perilaku yang tercela maka ia akan bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan akan terjerumus kedalam lembah kehinaan manusia sebagai Asfalaa Safiliin (QS 95:5). Maka, ia yang menghinakan diri sendiri adalah makhluk yang terputus dari rahmat Tuhan dan menjadi ateis dari kacamata keakuannya sendiri, dari kacamata Tuhan maka manusia adalah makhluk yang harus menerima suatu konsekeunsi dari keterputusan dirinya dari Rahmat Tuhannya yang telah menganugerahkannya indra maya, akal pikiran dan hati untuk mengenali ke-Esa-an Tuhan seperti diungkapkan dalam QS 55 sebanyak 31 kali, “maka rahmat mana lagi yang mau didustakan?”.